Pages

  • Add to Facebook
  • Add to Digg
  • Add to Twitter
  • Add RSS Feed

Selasa, 18 Januari 2011

Model Pembelajaran Matematika Realistik


MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

I.          Dasar Teori Yang Melandasi Model Pembelajaran Matematika Realistik

Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai dalam proses belajar. Dalam hal ini siswa mengalami kesulitan belajar matematika dikelas. Akibatnya, siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa akan mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematika pengalaman sehari-hari (Mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran matematika realistic (MR).
Matematika realistic (MR) adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistic digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau karakteristik-karakteristik RME.
Karakteristik RME adalah sebagai berikut          :


(1)      Menggunakan konteks.
Konteks adalah lingkungan keseharian siswa yang nyata.
(2)      Menggunakan Model.
(3)      Menggunakan kontribusi murid.
(4)      Interaktivitas
(5)      Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (Keterkaitan).
Berkaitan dengan hal itu, karakteristik tersebut memaparkan secara teoritis pembelajaran matematika realistic, pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan pengertian. Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai pengertian kuat tentang konsep-konsep matematika. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.
Pendidikan matematika realistik atau Realistik Mathematic Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika yang dirasakan kurang bermakna bagi pelajar. Menurut pandangan freudenthal tentang matematika, selain sebagai subjek yang ditransfer, juga sebagai kegiatan kemanusaian. Artinya dalam pendidikan matematik dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi”.
Treffer (1978,1987) secara explisit merumuskan ide matematisasi dalam konteks pendidikan menjadi dua tipe yaitu Matematisasi horizontal dan Vertikal.
Dalam matematisasi horisontal, siswa mulai dari soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain, misalnya pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik.  Sedangkan dalam matematisasi vertikal, kita juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam  angka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan konteks, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antara konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa matematika horizontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah symbol, sedangkan matematika vertikal hanya bergerak dalam ranah symbol saja.
Kedua bentuk matematika ini sesungguhnya  tidak berbeda maknanya dan sama nilainya. Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dengan hal yang sederhana ke yang lebih komplek). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.
Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan tetapi siswa yang menemukan sendiri melalui matematika horizontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan system formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.
Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “Realistik” yang berasal dari bahasa belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari bumi dunia nyata. Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur pemecahan masalah, sedangkan penemuan kembali menggunakan konsep matermatika.
Jadi, secara garis besar RME adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus matematika. Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

II.       Langkah-langkah pembelajaran atau sintaksis Model

Secara umum model pembelajaran matematika dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Persiapan
Sebagai persiapan, guru terlebih dahulu mempelajari materi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya menyiapkan dan menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai untuk memulai pembelajaran serta mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sebagai media pembelajaran.  Guru juga menyiapkan scenario pembelajaran yang akan digunakan dikelas. Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh ditempuh siswa dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini sehingga guru bias mengendalikan proses pembelajaran di kelas.
2.      Pembukaan
Pada bagian ini guru menceritakan suatu hal yang menarik yang dapat digunakan sebagai pemahaman awal dan juga dapat menimbulkan rasa keingintahuan siswa terhadap materi yang akan disampaikan oleh guru. Selanjutnya diperkenalkan kepada siswa strategi pembelajaran yang di pakai dan di perkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Setelah itu guru pengelompokkan siswa dan siswa diminta untuk memecahkan masalah yang diberikan tersebut dengan cara mereka sendiri.
3.      Proses Pembelajaran
Pada saat pembelajaran berlangsung, guru mengamati atau memperhatikan kegiatan atau memperhatikan kegiatan setiap kelompok dan memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kewalahan, dimana bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah kedalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Sehingga siswa mampu membuat strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya dan siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh siswa dan siswa lain memberikan tanggapan terhadap hasil kerja kelompok penyaji.
4.      Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalaui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

III.    Prinsip Reaksi Pengelolaan Guru Di Kelas

Pendidikan matematika realistik mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai bagaimana siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Ada tiga prinsip reaksi pengelolaan guru dikelas, yaitu    :
a.         Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang.
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan  bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat atau definisi atau teorema atau aturan oleh siswa sendiri.
b.         Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik.
Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah kearah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya (matematisasi vertikal).
Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan: proses matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya.
Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat member kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Ini suatu fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada didalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah (Marpaung, 2001: 4).
c.          Self-delevoped Models ataumodel dibangun sendiri oleh siswa.
Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horizontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa. Dalam pembelajaran matematika realistik diharapkan terjadi urutan situasi nyatamodel dari situasi itumodel kearah formalpengetahuan formal. Menurutnya, inilah yang disebut ”buttom up” dan merupakan prinsip RME yang disebut ”Self -delevoped Models” (Soedjadi, 2000: 1).

IV.    Sistem Pendukung Dalam Model Pembelajaran Matematika Relistik

Karena model pembelajaran yang dipakai adalah model pembelajaran matematika realistik maka system pendukungnya adalah sebagai berikut            :
a.       Menggunakan konteks “dunia nyata”
Artinya pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata sehingga matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. 
b.      Menggunakan model-model (Matematisasi)
Artinya model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri(self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of  masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-of  masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model matematik formal.
c.       Menggunakan produksi dan konstruksi
Artinya dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang siswa anggap penting dalam proses pembelajaran. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu mengkonstruksikan pengetahuan matematika formal.
d.      Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi bisa berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran setuju, tidak setuju, pertanyaan, atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk-bentuk informal siswa.
e.       Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Artinya pengintergrasian unit-unit matematika adalah esensial, misalnya media yang dipakai dalam pembelajaran harus sesuai berkaitan dengan masalah konsep yang akan dipelajari. Jika dalam pembelajaran mengabaikan keterkaitan dengan medianya maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau goemetri tetapi juga bidang lain.
    
V.    Dampak Pembelajaran dengan Matematika Realistik

Dalam model pembelajaran matematika realistik dapat menimbulkan dampak secara langsung maupun  tidak langsung.
Dampak secara langsung :
1.      Siswa dapat menemukan strategi untuk memecahkan masalah melalui usahanya sendiri.
2.      Siswa mampu mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Karena pembelajaran langsung dari pengalaman siswa, maka siswa lebih mengerti konsep dan dapat menemukan kembali konsep yang sudah siswa lupakan.
4.      Hasil pemberian nilai rapor siswa meningkat.

      Dampak tidak langsung :
1.      Siswa akan terbiasa bekerjasama dengan siswa lain mencari solusi dari suatu masalah.
2.      Siswa akan mampu menggunakan media yang ada di “dunia nyata” sebagai alat bantu memecahkan masalah.
3.      Siswa akan terbiasa berinteraksi dengan guru.
4.      Siswa akan lebih senang belajar matematika.

VI.    Mengkritisi Model Pembelajaran Matematika Realistik

Keunggulan Pada Model Pembelajaran Matematika Realistik

1.      Pemahaman pembelajaran yang di terangkan oleh guru akan tertanam dalam jangka waktu yang lama di dalam pikiran siswa.
2.      Pembelajaran dengan model matematika realistik dapat meningkatkan kreatifitas siswa.
3.      Dengan model pembelajaran matematika realistik setiap siswa dapat mengerti permasalahan  yang timbul dari dunia nyata.
4.      Siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam dunia nyata.
5.      Mengembangkan minat siswa untuk terus menerus belajar.
6.      Dapat melatih dan membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi setiap masalah.

Kelemahan Pada Model Pembelajaran Matematika Realistik

1.      Memerlukan waktu yang cukup panjang yang kadang-kadang tidak sesuai dengan yang direncanakan.
2.      Sering terjadi pemahaman pembelajaran yang hanya dikuasai oleh 2 atau 3 orang saja
3.      Pada topic-topik pembelajaran tertentu sulit menemukan media yang sesuai untuk di demonstrasikan.

0 komentar:

Posting Komentar