Pages

  • Add to Facebook
  • Add to Digg
  • Add to Twitter
  • Add RSS Feed

Minggu, 16 Januari 2011

Hakekat Manusia

Filsafat Pendidikan


HAKEKAT MANUSIA

Disusun Oleh                  :

                   Kelompok    :        9
                   Nama-nama Anggota               :
1.            Elia Tince Sirait            (408111045)
2.            Fakhrunnisa                   (408111049 )
3.            Tati Utami                     (081244110022)
4.            Tuti Mariani                  (408111102)
Kelas           :        Dik A Reguler ‘08
Jurusan       :        Matematika
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2010

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana juga makhluk-makhluk lain dimuka bumi ini, dan setiap makhluk yang diciptakan itu memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan makhluk satu dengan makhluk lainnya  Manusia dihadirkan di atas bumi ini dengan tujuan yang mulia. Tuhan telah merancang sedemikian rupa penciptaan manusia untuk dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan kemuliaan pula. Tuhan  juga memberikan bagi manusia amanah yang harus di pertanggung jawabkan. Selain itu, manusia merupakan mahkluk monodualistis antara jiwa dan raga tidak dapat dipisahkan.
1.      Aliran monoisme
Aliran ini menganggap bahwa seluruh semesta termasuk manusia hanya terdiri dari satu zat. Aliran ini dibagi menjadi dua.
-          Aliran materialisme= Realitas yang sebenarnya adalah materi (benda).
-          Aliran idealisme= Realitas yang sebenarnya adalah ide (rohani).
2.      Aliran dualisme
Aliran ini menganggap bahwa realitas semesta merupakan perpaduan antara zat hidup dan zat mati. Manusia merupakan sintesis antara jasmani dan rohani.
Pada dasarnya hakekat manusia adalah sebagai berikut :
ü  Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
ü  Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
ü  Individu yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
ü  Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
ü  Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
ü  Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
ü  Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
ü  Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
Konsep Manusia Indonesia Seutuhnya menempatkan keempat dimensi kemanusiaan secara selaras serasi dan seimbang. Deskripsinya tertuang dalam butir-butir pengamalan Pancasila. Konsep lain mengenai deskripsi Manusia Indonesia Seutuhnya dapat dirunut pada tujuan pendidikan nasional yaitu “manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.



BAB II
PEMBAHASAN

A.        Beberapa pandangan tentang manusia


1.      Manusia adalah manusia berpikir (homo sapiens), biasanya berpikir manusia itu adalah kalau dihadapkan pada masalah-masalah terutama masalah yang menyangkut kehidupan  sehari-hari, dari masalah yang sederhana sampai kepada masalah yang rumit, kemudian ia berpikir juga tentang gejala-gejala alam yang diamatinya, ia terundang untuk menyelidiki, ia menyelidiki terus dan sampai menemukan jawaban.
Bagi orang awam, kurang jeli untuk melihat masalah-masalah, kurang terpanggil untuk mengadakan penyelidikan, semua hal dianggap biasa, dianggap memang sudah kehendak alam. Tetapi bagi orang yang mampu berpikir, yang kecerdasannya tinggi, sesuatu benda dari atas jatuh kebawah, dipertanyakannya, diselidikinya, diadakan percobaan dan penelitian, akhirnya ia menemukan teori daya tarik bumi (teori gravitasi bumi). Seorang filsuf mengatakan ‘saya berfikir maka saya ada’ (cogito ergo sum), jadi filsuf ini menekankan arti keberadaan manusia itu karena ia berpikir.
2.      Manusia juga adalah makhluk yang suka berbuat, suka menciptakan dan menghasilkan sesuatu (Homo faber), memiliki kreatifitas yang tinggi dan rajin.
Dari dahulu hingga sekarang telah banyak yang dikerjakan dan dibuat manusia. Berburu, mengolah tanah menjadi lahan pertanian, dibuat alas kaki, dibuat untuk menyimpan sesuatu, ada tanah liat dibuat periuk, belanga dan wadah air serta benda-benda seni, ada serat kayu ditenun dijadikan bahan pakaian, ada pohon pandan dianyam menjadi tikar dan sumpit.
3.      Manusia disebut juga sebagai animal educandum, makhluk yang dapat dididik, karena ia mampu berkata-kata dan berbahasa, mampu berkomunikasi dan menerima pesan-pesan, mempunyai potensi untuk mengerti, memahami, mengingat dan berpikir.
Manusia dibekali dengan tingkat kecerdasan tertentu untuk dapat belajar sesuatu, ia juga mempunyai kata hati atau hati nurani (conscience of man) untuk dapat merasakan mana yang baik mana yang buruk, mempunyai rasa ingin tahu (curiosity). Selain manusia mampu dididik, ia juga memerlukan pendidikan, bahkan harus mengalami pendidikan. Sewaktu seorang anak lahir, ia juga tidak dengan sendirinya dapat membentuk kepribadiannya, ia perlu pendidikan dari orang lain.
4.      Manusia adalah makhluk yang suka berkawan, butuh mempunyai teman sehingga dikatakan manusia itu adalah suka berkelompok mengadakan hubungan social (Zoonpoliticon).
Seseorang akan merasa amat tersiksa apabila dikucilkan oleh kelompoknya, apabila ia diasingkan sendirian, apabila ia tidak diacuhkan dan tidak mendapat penerimaan dalam kelompoknya.
Selain hal yang disebut diatas, manusia adalah makhluk yang banyak sekali kebutuhannya. Kalu kebutuhan hewan adalah tersedianya makanan dan pasangan (kebutuhan yang bersifat biologis), tetapi kalau manusia menghendaki kebutuhan yang banyak sekali, mulai dari kebutuhan yang bersifat biologis (makanan, minuman, kawin, tempat tinggal dan perlindungan kesehatan); kebutuhan akan keamanan dirinya (bebas dari rasa takut, rasa tertekan, bebas dari ancaman, mendapat perlindungan hukum); kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi, diperhatikan, dihargai dan dipuji, kebutuhan mengadakan hubungan sosial (mempunyai teman, mendapat penerimaan sosial, dikenal dan dikagumi) sampai pada kebutuhan eksistensi diri yaitu keberadaannya pada suatu puncak karir yang mungkin ia capai (Maslow, 1970, 55-60).

B.       Eksistensi Manusia
a.      Manusia Sebagai Makhluk Individu
      Tidak ada orang yang dilahirkan persis sama, walaupun pada anak-anak kembar sekalipun. Jadi dari lahir masing-masing sudah ada pembawaannya, tidak ada duanya. Demikian juga dengan apa yang mereka alami dari lingkungan. Anak-anak kembar yang berasal dari satu telur pun tidak ada memiliki kepribadian yang persis sama. Tiap-tiap anak mempunyai sifat kepribadian yang unik. Oleh karena itu, mereka pun masing-masing akan tidak ada duanya.
      Setiap orang ingin mengaktualisasi dirinya, artinya mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya sendiri. Dia tetap ingin merupakan akunya sendiri. Dia sadar akan individualitasnya, dia mempunyai jati dirinya sendiri. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Dia mengalami banyak pengaruh yang tidak disengaja dan banyak pula pengaruh yang disengaja. Akan tetapi, anak itu juga mengambil jarak, dia memilih, mempertahankan diri dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh itu diolahnya secara sangat pribadi dan apa yang diterimanya menjadi bagian dari dirinya sendiri. Dia seorang individu.
      Dalam pendidikannya yang sengaja itu, pendidik harus berjaga-jaga agar ia tidak terlalu ingin memaksakan kemauannya, karena pada anak ada suatu prinsip pembentukan yang ditentukan oleh pribadinya sendiri. Prinsip inilah yang mengasimilasikan pengaru-pengaruh kependidikan yang sengaja itu, serta memimpin dan mengembangkan apa yang menjadi bagian dari dirinya. Pendidik seyogianya menghormati individualitas anak, kepribadiannya, keunikan, dan martabatnya. Namun untuk perkembangan dirinya, untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai individu, anak memerlukan pendidikan. 
b.      Manusia Sebagai Makhluk Sosial
      Anak menemukan akunya, membedakan antara akunya dengan aku lain yang ada disekitarnya dalm pergaulan. Sewaktu ia masih bayi, anak mulai merasa satu dengan orang-orang dalam lingkungan dekatnya, terutama ibunya. Baru kemudian dia membedakan dirinya, akunua, dari ibunya dan dari aku-aku yang lain itu. Dia dipelihara, dilindungi, dan diajak berkomunikasi. Semua ini menunjukkan, bahwa manusia itu adalah makhluk social. Untuk kebutuhan fisiknya pun, dia memerlukan perhatian dan bantuan dari orang lain.
      Manusia itu adalah makhluk social dan sekaligus makhluk individu. Sebagai makhluk social individualiatasnya hendaknya tetap terpelihara secara utuh. Pidarta (1997, 147) mengemukakan bahwa untuk hidup dalam artian benar-benar manusiawi, setiap orang harus hidup bersama dengan orang-orang lain. Dalam setiap kehidupan yang berhasil, masing-masing mendapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari orang lain. Setiap kehidupan yang sepenuhnya manusiawi mencakup sebagai suatu bagian yang esensial dari dirinya, banyak unsure yang harus datng dari orang-orang lain. Keakuan manusia betul-betul banyak bergantung pada kontribusi-kontribusi esensial dari orang-orang lain. Untuk sebagian, tujuan pendidikan adalah membantu perkembangan social dari anak agar ia mendapat tempat, menyesuaikan diri serta mampu berperan sebagai anggota yang cakap bekerja sama dan konstruktif dalam masyarakat. Kalau manusia itu tidak dilihat dan diakui sebagai makhluk social maka nini berarti bahwa anak pada hakikatnya tidak dapat dipengaruhi dank arena itu tidak dapat dididik, jangan sekali-kali dilupakan bahwa pendidikan adalah suatu peristiwa sosial    
c.       Manusia Sebagai Makhluk Susila
      Telah dikemukakan manusia dapat membedakan mana yang baik dan jahat. Begitupula dia dapat membedakan mana yang pantas dan yang tidak pantas. Dapatnya manusia membuat perbedaan antara baik dan jahat, betul dan salah, pantas dan tak pantas, berarti bahwa dia dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal itu. Yang menjadi persoalan adalah apakah manusia dapat mengarahkan tingkah laku dan kehidupannya menurut apa yang diketahuinya sebagai hal yang baik, betul atau pantas. Sehingga kita menilai seseorang itu dari tindakan susilanya, bukan karena pengetahuan susilanya.
      Manusia susila adalah manusia yang memilki, menghayati, dan melakukan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, manusia mengkristalisasikan dan mengintegrasikan pengalaman dan penghayatannya hal-hal yang berharga bagi kehidupan menjadi satu pandangan hidup, sehingga tersusun dalam satu kesatuan yang hirearkis yang disebut system nilai-nilai (dryarkara 1980, 46). Berkenaan dengan sumber-sumber nilai, termasuk nilai-nilai susila, yang antara lain menjadi pedoman bagi apa yang harus kita lakukan. Satu pendapat menyatakan bahwa nilai-nilai demikian mempunyai dukungan religius dan sifatnya absolute. Menurut pendapat ini, ada suatu kaitan yang tidak terelakan dan merupakan keharusan komitmen religius dan perbuatan yang betul dan tepat.
      Pendapat yang lain adalah bahwa nilai-nilai itu adalah buatan manusia. Penganut pendapat ini terbagi dua pula, yaitu :
1.      mereka yang mengatakan bahwa nilai-nilai itu tidak boleh diubah, dan
2.      mereka yang mengatakan bahwa nilai-nilai itu mungkin saja berubah karena misalnya berubahnya tuntutan zaman atau situasi
      Pendidikan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Isi pendidikan ialah tindakan-tindakan yang membawa snsk didik mengalami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, menghargai dan meyakininya sehingga anak didik membangun nilai-nilai kemanusiaan itu kedalam kepribadiannya.
      Dilihat dari segi lain, pendidikan adalah usaha membantu anak dalam menajamkan kata hatinya. Bagaimanapun kita mengatakannya yang jelas adlah bahwa pendidikan itu adalah suatu peristiwa yang normative. Esensi dari pendidikan adalah moral   
d.      Manusia Sebagai Makhluk Religious
      Sejak dahulu kala manusia percaya bahwa diluar apa-apa yang dapat dijangkau melalui alat inderanya ada kekuatan-kekuatan yang disebut termasuk yang supernatural. Dahulu orang menciptakan mitos-mitos untuk memehami kekuatan-kekuatan dan hubungannya dengan manusia. Untuk mendamaikan atau melunakkan sikap kekuatan-kekuatan itu terhadap dirinya atau meminta sesuatu yang khusus dari kekuatan-kekuatan itu, orang melakukan bermacam-macam upacara, memberikan korban-korban dan menyediakan sesajen-sesajen. Kemudian manusia dianugerahi dengan ajaran-ajaran yang dipercayainya adalah wahyu dari Tuhan melalui nabi-nabi demi kemaslahatan dan demi keselamatan manusia itu. Memang manusia pada dasarnya, adalah homo religious (makhluk yang religius). Tugas dari pendidikan adalah menemukan dan mendalami yang baik itu berdasarkan pengkajian ajaran agama dan mengajarkan anak-anak untuk mengetahui dan mengikutnya.
      Arbi (1998, 135-136) mengemukakan bahwa yang mungkin menjadi persoalan bagi orang adalah apakah sekolah akan mengajarkan sesuai pengetahuan belaka atau juga harus sampai kepada inisiasi, penerimaan atau pemantapan dan penguatan penerimaan pernyataan-pernyataan dan system kepercayaan agama tertentu. Perbedaannya disini lebih baik dikemukakan antara apakah sekolah harus memberikan pengajaran agama atau pendidikan agama.
      Mereka yang menghendaki pendidikan agama merasa bahwa pengajaran agama meskipun amat perlu bahkan esensial sebagai modal bagian kognitif dari perkembangan keagamaan tidak memadai. Pendidikan agama lebih dari suatu pengkajian tentang agama meainkan agar mereka berfikir dan merasa secara keagamaan serta secara sepenuh hati dan taat melakukan ibadah agamanya. Yang terakhir ini berarti bahwa anak-anak mempunyai kemampuan untuk menghayati pengalaman mereka tentang diri mereka dan dunianya menurut agamanya masing-masing. Metode-metode memperoleh pemahaman agama ada bermacam-macam termasuk pengajaran agama, sembahyang dan doa, meditasi, komitmen aktif dan praktek-praktek ritual.
      Untuk dapat menjalankan kehidupan yang religius jelaslah anak memerlukan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan, dan ritual-ritual yang akhirnya diharapkan akan membantu dia kearah penyatuan diri dengan Tuhan. Jadi pada manusia terdapat beberapa dimensi, yaitu :
·         Dimensi keindividualan
·         Dimensi kesosialan
·         Dimensi kesusilaan
·         Dimensi keagamaan.

C.       Pengembangan Dimensi-Dimensi Manusia dalam Proses Pendidikan

a.      Pengembangan diri sebagai makhluk individu
Pendidikan mampu membantu anak menjadi dirinya sendiri (bukan jiplakan dari manusia lainnya) dan mampu berkembang menjadi pribadi yang utuh.
Pengembangan manusia sebagai makhluk individu bukan berarti mengembangkan sifat ke”aku”an (sifat egois manusia). Pendidikan harus berusaha mengembangkan peserta didik untuk mampu menolong dirinya sendiri dan untuk memupuk rasa tanggung jawab. Untuk itu  diperoleh pengalaman dalam pengembangan konsep, prinsip generalisasi, intelek, inisiatif, kreatifitas, kehendak, perasaaan, dan keterampilan, dimana semua itu dapat diperoleh melalui pendidikandan pembelajaran.
Di atas telah dikatakan bahwa perwujudan manusia sebagai mahluk individu (pribadi) ini memerlukan berbagai macam pengalaman. Tidaklah dapat mencapai tujuan yang diinginkan, apabila pendidikan terutama hanya memberikan aspek kognitif (pengetahuan) saja sebagai yang sering dikenal dan diberikan oleh para pendidik pada umumnya selama ini. Pendidikan seperti ini disebut bersifat intelektualistik, karena hanya berhubungan dengan segi intelek saja. Pengembangan intelek memang diperlukan, namun tidak boleh melupakan pengembangan aspek-aspek lainnya sebagai yang telah disebutkan di atas.
b.      Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial
Pendidikan membantu merangsang pengembangan sosial anak sebaik-baiknya, sehingga anak tersebut mendapatkan tempat dimasyarakat dan mampu menyesuaikan diri, bersosialisasi serta mampu berperan sebagai anggota masyarakat dan dapat bekerja sama secara konstruksi dalam masyarakat.
Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya, tidak dapat mencapai apa yang diinginkanya hanya seorang diri saja. Kehadiran manusia lain dihadapan kita bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.
c.       Pengembangan manusia sebagai makhluk susila
Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma dan nilai kehidupan yang mampu memecahkan tingkah laku mana yang baik dan yang mana yang tidak baik.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada norma dan nilai, maka kehidupan masyarakat menjadi tidak teratur dan kacau balau.
Melalui pendidikan, kita harus mampu membina manusia susila dan bermoral atau pendidikan mengusahakan anak didik menjadi manusia pendukung dan penggunaan norma, kaidah dan nilai susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam tingkah laku tiap pribadi atau individu.
Hubungan aspek susila kehidupan manusia dengan aspek kehidupan sosial sangat erat karena penghayatan atas norma, nilai dan kaidah susil, pelaksanaannya dalam tindakan dan tingkah laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan kehadirannya bersama orang lain. 
Pentingnya pengetahuan dan tingkah laku susila secara nyata dalam masyarakat mempunyai 2 alasan pokok yaitu:
1.      Untuk kepentingan dirinya sebagai individu
Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya dengan norma, nilai, dan kaidah yang ada di dalam masyarakat dimana dia hidup, maka dia tidak dapat penerimaan dari  masyarakat.
2.      Upaya kepentingan stabilitas kehiodupan masyarakat
Masyarakat tidak saja merupakan kumpulan individu tetapi lebih dari itu. Keberadaan individu didalam suatu tempat kita sebut masyrakat, yang didalamnya terdapat banyak aturan-aturan yang mengatur tingkah laku individu-individu tersebut. Norma, nilai dan kaudah merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama.

d.      Pengembangna manusia sebagai makhluk religious
Pengembangan makhluk religious dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tetapi yang memegang peranan penting adalah metode yang dapat menyentuh aspek afektif, karena masalah agama selain dipentingkan pengajaran (kawasan kognitif) ttetapi lebih dipentingkan kawasan afektif (yang menyangkut keimanan).
Untuk dapat menjalankan kehidupan yang religious, individu membutuhkan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan, ritual yang akhirnya diharapkan akan membantu anak kearah keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan.
Setiap manusia Indonesia dituntut dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan sebaik-baiknya menurut keyakinan yang dianutnya masing-masing serta untuk melaksanakan hubungan dengan sesama manusia.
Pendidikan agama harus dapat mengusahakan agar anak mengetahui, memahami, menghayati, dan menginternalisasi ajaran agama itu kedalam dirinya dan menyamalkan melalui ibadah-ibadahnya


0 komentar:

Posting Komentar